Beranda | Artikel
Kaidah Ke-31 : Adakalanya Terjadi Perbedaan Hukum Dikarenakan Perbedaan Sebab
Senin, 16 Juni 2014

QAWA’ID FIQHIYAH
Kaidah Ketiga Puluh Satu

قَدْ تَتَبَعَّضُ اْلأَحْكَامُ بِحَسَبِ تَفَاوُتِ أَسْبَابِهَا

Adakalanya Terjadi Perbedaan (Pemilahan) Hukum Dikarenakan Perbedaan Sebab

Kaidah yang mulia ini mempunyai implementasi yang cukup banyak dalam pembahasan fiqih. Kaidah ini menjelaskan tentang keberadaan hal-hal yang dalam kondisi tertentu status hukumnya bisa berubah atau perlu dirinci. Diantara dalil yang menunjukkan eksisitensi kaidah ini adalah hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma , Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

هُوَ لَكَ يَا عَبْدُ بْنَ زَمْعَةَ, الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ, وَاحْتَجِبِيْ مِنْهُ يَا سَوْدَةَ

Dia saudaramu wahai ‘Abdu bin Zam’ah. Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya mendapatkan kerugian. Dan berhijablah darinya wahai Saudah.[1]

Latar belakang sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut berkaitan dengan perselisihan antara ‘Abdu bin Zam’ah dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Ayah ‘Abdu, yaitu Zam’ah termasuk pembesar kaum Quraisy, ayah Saudah (isteri Nabi). Zam’ah mempunyai budak wanita bernama Walidah. Di masa jahiliyah, budak wanita tidak merasa malu untuk berbuat zina. Maka terjadilah perzinaan antara ‘Utbah bin Abi Waqqash (saudara Sa’ad bin Abi Waqqash) dengan Walidah. Beberapa waktu kemudian Walidah hamil. Dalam kasus ini, ada kemungkinan ia hamil karena hasil hubungannya dengan ‘Utbah dan ada kemungkinan pula dari hubungannya dengan tuannya. Namun, ‘Utbah yakin bahwa anak yang dikandung itu adalah hasil hubungannya dengan Walidah. Selang beberapa waktu kemudian, Walidah melahirkan seorang anak yang mirip dengan ‘Utbah.

Menjelang kematian, ‘Utbah berpesan kepada saudaranya yaitu Sa’ad bin Abi Waqqash agar mengambil anak tersebut karena dia yakin anak itu anaknya.

Ketika terjadi penaklukkan kota Mekah, Sa’ad pergi menemui anak-anak Zam’ah untuk mengambil anak tersebut. Namun, anak-anak Zam’ah tidak mau menyerahkannya karena menganggap anak itu adalah saudara mereka dan anak dari budak ayah mereka. Lalu Sa’ad dan salah seorang anak Zam’ah yaitu ‘Abdu mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak itu adalah anak Zam’ah, meskipun anak itu lebih mirip dengan ‘Utbah. Meski Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memutuskan anak itu adalah saudara ‘Abdu, namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan kepada saudari ‘Abdu yaitu Saudah agar menjaga hijab dari anak itu. Hal ini untuk lebih berhati-hati, karena anak itu lebih mirip dengan ‘Utbah dan ada kemungkinan seperti itu.

Maka dari sini, dapat diketahui adanya pembagian atau perincian hukum. Di mana kelaziman dari hubungan persaudaraan adalah keduanya mahram dan saling mewarisi namun dalam kasus tersebut ternyata hubungan mahram dibatasi karena adanya sebab tertentu.

Di antara penerapan dan implementasi kaidah ini dapat diketahui dari contoh-contoh kasus berikut :

1. Berkaitan dengan kasus pencurian. Apabila seseorang menuduh orang lain melakukan pencurian, padahal ia hanya mempunyai seorang saksi laki-laki atau dua orang saksi perempuan. Kemudian ia bersumpah disertai persaksiaan seorang laki-laki atau dua orang perempuan itu. Jika ini terjadi, berarti pencurian itu telah terbukti dan si terdakwa berkewajiban mengembalikan harta yang didakwakan kepadanya. Karena dalam permasalahan harta, keberadaan seorang saksi laki-laki atau dua orang saksi perempuan disertai sumpah si penuduh sudah cukup sebagai bukti. Namun, ini tidak cukup untuk menjatuhkan sanksi potong tangan kepada si pelaku, karena sanksi ini bisa diterapkan kecuali dengan persaksian dua orang saksi laki-laki.[3]

Konsekuensi awal dari pencurian adalah pengembalian harta yang dicuri dan hukum potong tangan. Dalam kasus di atas, syarat untuk pengembalian harta sudah terpenuhi, sedangkan syarat potong tangan belum terpenuhi. Inilah yang dimaksud dengan taba’ud (pemilahan) sebuah hukum karena sebab tertentu. Dalam hal ini yaitu perbedaan saksi.

2. Hubungan ayah dan anak adalah lazimnya menjadi mahram, saling mewarisi dan berkewajiban memberikan nafkah. Namun ini tidak berlaku bagi anak susuan dengan bapak. Meski mereka berdua adalah mahram, namun mereka tidak saling mewarisi dan tidak pula wajib memberikan nafkah.[4]

3. Apabila seorang lelaki berzina dengan seorang wanita sampai melahirkan anak, maka haram bagi si lelaki tersebut untuk menikahi anak hasil zina tersebut. Meskipun status nasab anak itu tidak disandarkan kepada lelaki tersebut dan tidak ada hubungan mahram antara keduanya tetapi tetap saja haram untuk dinikahkan.[5]

4. Berkaitan dengan kasus khulu’ [6]. Apabila seorang suami menyatakan bahwa ia telah mengkhulu’ isterinya dengan tebusan sejumlah harta yang harus diserahkan oleh si isteri kepadanya. Jika sang suami berani bersumpah untuk menegaskan bahwa khulu’ itu telah terjadi disertai persaksian seorang laki-laki, maka si isteri telah berkewajiban menyerahkan harta yang disebutkan sang suami. Karena untuk yang berkaitan dengan harta, keberadaan seorang saksi laki-laki dan sumpah si penuduh sudah cukup sebagai bukti. Adapun perpisahan suami-isteri tersebut dengan status khulu’ bukan karena keberadaan saksi tersebut tetapi karena pengakuan si suami. Karena penetapan khulu’ ditentukan dengan dua orang saksi laki-laki.

Berbeda halnya jika yang menyatakan terjadinya khulu’ dari pihak isteri, padahal ia hanya memiliki seorang saksi laki-laki. Meskipun dia berani bersumpah untuk menguatkan saksi, namun khulu’ tetap tidak terjadi. Karena dalam kasus ini si isteri tidak menuntut harta, namun menuntut adanya khulu’, sementara khulu’ tidak terwujud kecuali dengan dua orang saksi.[7]

5. Tentang penisbatan seorang anak kepada orang tuanya. Secara umum, seorang anak dinisbatkan kepada ayahnya dari sisi nasab, bukan kepada ibunya.[8] Apabila anak tersebut bernama Zaid, ayahnya bernama Ahmad, dan ibunya bernama Fatimah, maka dikatakan Zaid bin Ahmad, bukan Zaid bin Fatimah. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma :

إِنَّ الْغَادِرَ يُنْصَبُ لَهُ لِوَاءٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ, فَيُقَالُ : هَذِهِ غَدْرَةُ فُلاَنِ ابْنِ فُلاَنٍ

Sesungguhnya orang yang berkhianat ditegakkan baginya bendera pada hari kiamat, dan dikatakan, “Ini adalah pengkianatan yang dilakukan fulan bin fulan.” [9]

Adapun berkaitan dengan status si anak, apakah berstatus sebagai orang merdeka ataukah budak, maka ini ditentukan status ibunya. Sehingga, apabila seorang laki-laki menikahi budak wanita, maka anak mereka berstatus sebagai budak.[10] Sebaliknya, jika seorang budak laki-laki menikah dengan seorang wanita merdeka, maka anak mereka berstatus sebagai orang merdeka.

Sedangkan masalah agama si anak, maka itu dinisbatkan kepada agama terbaik kedua orang tuanya. Apabila seorang laki-laki Muslim menikah dengan wanita ahlul kitab, maka si anak mengikuti agama ayahnya yaitu agama Islam. Oleh karena itu, seandainya anak tersebut meninggal, maka ia dimandikan, dikafani, dan dishalatkan, serta dikuburkan di pekuburan kaum muslimin.

Dari sini terlihat adanya pemilahan hukum berkaitan dengan hubungan anak dengan orang tuanya dikarenakan ada perbedaan sebab.

6. Binatang yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara binatang yang halal dan yang haram. Dalam hal ini, maka anak hasil perkawinan tersebut dihukumi haram. Misalnya bighal yang merupakan hasil perkawinan antara kuda yang halal dimakan dengan keledai yang haram dimakan. Bighal yang merupakan perkawinan silang kuda dengan keeledai ini haram dimakan. Karena sisi keharaman lebih dikedepankan daripada sisi kehalalannya.[11]

7. Berkaitan dengan masalah syahadah (persaksian). Apabila seorang anak memberikan persaksian yang menguntungkan bagi orang tuanya, maka persaksiannya tidak diterima. Karena ada unsur tuhmah, yaitu ada kemungkinan keberadaan anak tersebut memang sengaja ingin menguntungkan orang tuanya padahal persaksian tersebut tidak sesuai fakta. Berbeda hal jika persaksian tersebut merugikan, maka persaksiannya diterima. Demikian pula, persaksian orang tua untuk anaknya. Sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. [An-Nisâ’/4:135]

Sebaliknya, orang yang memberikan persaksian yang menguntungkan bagi pihak lawan, maka persaksiannya diterima, jika merugikan, maka ditolak.

Dari sini dapat diketahui perbedaan hukum dalam persaksian karena perbedaan sifat persaksian yang diberikan.

8. Apabila seseorang menjual satu paket barang yang terdiri dari dua barang, salah satunya haram dijual dan yang lainnya mubah. Maka transaksinya pada barang yang mubah itu sah, sedangkan pada barang yang haram itu tidak sah. Misalnya seseorang menjual satu wadah khamr dan satu wadah sirup dengan satu harga. Maka transaksi jual beli pada wadah sirup itu sah, sedangkan pada wadah khamr tidak sah. Dan dalam kasus ini tidak dihukumi dengan memenangkan sisi keharaman atas sisi kehalalan karena kedua barang tersebut bisa dipisahkan.[13]

Wallahu a’lam.[14]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XIV/1431H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. HR. al-Bukhâri, no. 2053 dan Muslim, no. 1457.
[2]. Lihat penjelasan hadits di atas dalam Syarh Shahih Muslim (9/279-281). Imam Muhyiddin an-Nawawi. Cet. Ke-XIV. Tahun 1428 H/2007 M. Daar al-Ma’rifah. Beirut.
[3]. Lihat Syarhul Qawâ’idis Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil. Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’. Hlm. 199-200.
[4]. Lihat al-Mausû’atul Fiqhiyyah (22/241). Cet. Ke-2. 1404 H/1983 M.
[5]. Lihat rubrik Mabhats majalah As-Sunnah berjudul Status Anak Zina, edisi 09 th. XII hlm. 28.
[6]. Khulu’ adalah apabila seorang laki-laki menceraikan isterinya dengan sejumlah harta yang diserahkan isteri kepadanya. (Lihat Mu’jam Lughah al-Fuqaha’. Prof. Dr. Muhammad Rawas Qal’ah Jiy dan Dr. Hamid Shadiq Qunaibi. Cetakan kedua. Tahun 1408 H/1988 M. Dar an-Nafais. Beirut. Pada kata ( الخلع ).
[7]. Lihat Syarh al-Qawa’id as-Sa’diyah. Syaikh Abdul Muhsin bin Abdullah az-Zamil. Dar Athlas al-Kahadhra’ li an-Nasyri wa-at-Tauzi’. Hlm. 200.
[8]. Kecuali Nabi Isa bin Maryam Alaihissallam. Beliau dinasabkan ke ibunya karena beliau tidak memiliki ayah. (Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin terhadap atas kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wat-Taqâsîmul Badî’ah an-Nâfi’ah. Cet. I. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo. Hlm. 144)
[9]. HR. al-Bukhâri, no. o. 6178 dan Muslim, no. 1735.
[10]. Oleh karena itu haram hukumnya seorang laki-laki merdeka menikahi budak wanita, karena anak hasil hubungan mereka nantinya akan berstatus sebagai budak. (Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin atas kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wat-Taqâsîmul Badî’ah an-Nâfi’ah. Cet. I. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo. Hlm. 145).
[11]. Lihat Minhajul Muslim. Syaikh Abu Bakr Jabir al-Jazairi. Tahun 2002 M.. Hlm. 408.
[12]. Lihat as-Syarhl Mumti’ ‘ala Zâdil Mustaqni’ (15/434-435). Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin. Cet. I. Tahun 1422 H. Dar Ibni al-Jauzi. Damam.
[13]. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan bahwa dalam kasus ini pembagian harga kedua barang ditentukan dengan menganggap khamr itu sirup, bukan dengan harga khamr karena khamr tidak ada nilai secara syar’i. (Lihat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin atas kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wat-Taqâsîmul Badî’ah an-Nâfi’ah. Cet. I. Tahun 2002 M. Maktabah as-Sunnah. Kairo. Hlm. 146
[14]. Diangkat dari kitab al-Qawâ’id wal Ushûlul Jâmi’ah wal Furûq wat-Taqâsîmul Badî’ah an-Nâfi’ah. Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di. Tahqiq Syaikh Dr. Khalid bin Ali bin Muhammad al-Musyaiqih. Cetakan kedua. 1422 H/2001 M. Dar al-Wathan li an-Nasyr. Riyadh. Hlm. 83-84. Dengan beberapa tambahan dari referensi lainnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3937-kaidah-ke-31-adakalanya-terjadi-perbedaan-pemilahan-hukum-dikarenakan-perbedaan-sebab.html